Phobia - Sukadi.net

July 17, 2010

Phobia

Malam hadir mengganti nuansa sore yang menghilang beberapa saat yang lalu. Gemerlap lampu menghias rumah – rumah dan merenda kemilau disepanjang jalan kampung ini, angin malam semilir membelai, dingin menusuk, langit nampak berhias kerlip bintang, rembulan bersolek nampak belum sempurna benar.

Di ujung jalan ini nampak terlihat Mas Karyo termangu sendiri diatas balai bambu sederhana pos ronda. Aku yang merasa kesepian seperti mendapatkan solusi, aku berjalan dengan langkah perlahan menuju pos ronda, akhirnya aku dapat teman ngobrol juga, fikirku. Sesampai didepan pos ronda langkahku terhenti, mataku menyapu suasana yang kurasakan begitu ganjil, rasa kecewa perlahan melintas dibenakku, karena lawan ngobrol yang kuharapkan seperti tak ada gairah bicara, aku menemukan kejanggalan pada diri Mas Karyo. Kulihat matanya memerah, seperti kurang tidur, tak ada jeda menatap kosong, tak henti asap r*kok mengepul dari mulutnya, wajahnya kusut, dengan bersandar pada tiang bambu penyangga pos ronda, nampak jelas kebingungan dan keresahan tergambar dari tingkahnya.

“Sendirian mas“, sapaku, sembari menghampirinya. Nampak dia tersentak, terbangun dari lamunannya, tapi tak lekas dia menjawab, hanya sedikit dia tersenyum kecut padaku, kepulan asap r*kok yang keluar dari mulutnya seolah mewakilkan jawabannya. Aku yang merasa heran dengan kejanggalan ini memberanikan diri untuk bertanya, “Mas Karyo kenapa?“.

Wajah lelaki setengah baya itu terkerut, matanya menatapku, tangan kanannya megusap – usap kepala, dengan tangan kiri memainkan sebatang r*kok diujung jemari, sepertinya begitu berat beban yang dia tanggung.


“Aku bingung, pusing memikirkan kenyataan ini“
“Bingung kenapa?“
“Istriku sedang hamil tua, mengandung harapan kami, anak pertama yang sudah sepuluh tahun aku menantinya“
“Bukankah Mas Karyo semestinya bersyukur karena sudah diberi anugerah ini?“
“Aku bersyukur, tak henti aku mensyukuri anugerah ini. Tapi kebingunganku bukan karena biaya melahirkan atau masalah materi yang lain, tapi kebingungan dan ketakutanku karena anakku nanti akan lahir pada jaman yang seperti ini”.
“Memangnya kenapa?, bukankah sama saja?”, selidikku.
“Tidak. Aku berfikir bahwa sekarang ini adalah masa dimana jaman sudah mulai renta, orientasi sebuah perjalanan hidup sudah mengarah kearah duniawi. Akhirat sudah semu tergambar, fikiran manusia terpaku pada fana. Aku bingung, kelak jika anakku lahir harus aku beri nama siapa, aku nanti memberi pendidikan dengan menyekolahkan dimana, kalau mau belajar agama harus ke pesantren mana, nanti pergaulannya dengan siapa. Aku bingung dan takut“. 

Wajah Mas Karyo berubah serius, dari polahnya  dapat terbaca kalau memang dia benar – benar kebingungan dan ketakutan.
“Kenapa harus bingung dan takut?, bukankah semua itu mudah dan bukan satu hal yang sulit?”, aku coba mengorek permasalahan yang sedang dihadapinya. Karena setahuku, hal – hal yang yang disebutkan olehnya dan membuat dia merasa kebingungan dan ketakutan adalah hal biasa yang sangat mudah jalan keluarnya.

“Aku bingung menamai anakku, karena nama – nama yang bagus, nama Rasul sekalipun sekarang banyak yang tak mencerminkan kepribadian seseorang. Aku takut nantinya anakku punya nama yang sama seperti para koruptor yang sudah menjamur di negeri ini. Sekarang kalau cuma satu dua nama mungkin aku bisa memilah, tapi sudah banyak nama – nama bagus yang dipakai seorang yang tabiatnya buruk. Aku takut anakku menjadi koruptor atau orang – orang yang telah merugikan orang banyak dan memakan hak orang lain. Bahkan yang lebih mengerikan, andaikan aku salah memberi nama, dan ternyata nama anakku sama seperti nama psikopat, penjahat, teroris, mungkin kalau yang sudah terekam media aku bisa memilah, tapi bukankah tidak menutup kemungkinan bahwa dinegeri ini banyak kasus yang belum terungkap?“.

Aku terdiam, aku hanya bisa mengangguk pelan mendengar penjelasannya. Aku mencoba membayangkan ucapannya, mungkin ada benarnya juga, sebuah nama adalah sebuah do’a. Tak sempat aku mengutarakan pertanyaanku berikutnya, dari mulutnya mengalir kata – kata sebagai alasan atas kegundahan hatinya.

“Kalau nanti umur anakku telah beranjak dan mulai membutuhkan pendidikan dibangku sekolah, bukankah aku harus mempersiapkan begitu banyak biaya?, karena sekarang saja biaya pendidikan sudah selangit, hampir tak terjangkau oleh golongan ekonomi seperti aku, lalu berapa biaya pendidikan anakku kelak?”.

Dihelanya nafas panjang – panjang, asap r*kok masih saja mengepul dari mulutnya. Mungkin benar apa yang dikatakannya, kebingugan yang beralasan, yang mungkin saja tak hanya dirasakan olehnya, tapi oleh begitu banyak orang tua di negeri ini. 

“Bukankah nanti bisa dimasukkan ke pondok pesantren mas?“, sahutku melanjutkan percakapan.
“Apakah pesantren adalah solusi?“, dia balik bertanya padaku.
“Bukankah di pesantren nantinya bisa dididik tantang akhlak dan agama yang baik?“
“ Ya, mungkin benar yang kamu katakan, tapi konteks yang kamu katakan disini adalah teori yang berlawanan dengan ketakutanku. Sebenarnya aku juga berfikir seperti itu, tapi ketakutan ini selalu menghantuiku, aku takut jika salah memilih pesantren. Bisa saja nanti anakku kurang terurus, walaupun tidak banyak, sekarang para kyai, ustadz dan guru agama yang lain ikut ngurusi politik. Yang lebih menakutkan adalah jika nanti aku keliru memasukkan anakku ketempat pendidikan agama yang mengajarkan tentang ajaran – ajaran yang menyimpang dari syari’at. Bukankah sebagai orang tua wajar kalau aku merasa takut?“.

Malam kian beranjak diiring hembusan angin yang dingin menusuk tulang, suara jangkrik sesekali terdengar menyela percakapan kami. Di langit bintang masih berkelip menyebar, menebarkan pesona cerah dan mengepung rembulan yang masih separo.

Tak sempat kami melanjutkan perbincangan ini, dari ujung jalan yang lengang ini terlihat sosok wanita berlari kearah kami. Ya, rupanya Ratri, adik Mas Karyo. Dengan nafas yang tersengal, mata yang nampak basah, dan polah yang begitu panik dia berhenti didepan tempat kami ngobrol.

“Ada apa nduk?“, tanya Mas Karyo.
“Mbakyu… Mbakyu… Mas…“
“Kenapa dengan Mbakyumu?”
“Mbakyu jatuh di kamar mandi, mbakyu pendarahan mas…”, Mas Karyo seketika terbangun dari duduknya, matanya terbelalak, mukanya pucat, tanpa banyak kata dia bergegas berlari tak memperdulikan kami disini.

Aku meloncat dari balai ini, aku mengikuti langkah Mas Karyo yang sudah berlari jauh, sesekali langkahku terhuyun karena kantuk yang sudah menyerangku. Sesampai didepan rumah Mas Karyo, dibawah temaram lampu nampak begitu banyak orang yang berkerumun, isak tangis masih jelas terdengar, aku mendekat, masuk disela kerumunan ini. Astaga, aku melihat diatas tempat tidur diruang tengah rumah Mas Karyo menagis sambil mendekap tubuh istrinya yang lemah terkulai, air mata menetes membasahi wajah yang begitu pucat, darah nampak basah mengalir.

“Mobilnya datang mas!”, seru suara dari luar mengiring deru mobil yang kian mendekat.
Aku membantu Mas Karyo mengangkat tubuh istrinya kedalam mobil yang parkir dihalaman rumah, dengan air mata yang terus mengalir, berhias raut panik dan ketakutan yang mendalam, Mas Karyo mengantarkan istrinya ke rumah sakit yang letaknya 15 km dari sini.

*****
Pagi ini langit nampak cerah, biru, tak nampak mendung bergelantung, matahari menyiratkan cahaya hangat dengan cerahnya, angin semilir menghantarkan kesejukan, dingin masih sedikit terasa. Di ujung jalan ini nampak terlihat Mas Karyo termangu sendiri diatas balai bambu pos ronda. Aku jadi teringat malam yang lalu, beberapa hari yang lalu ketika ditempat yang sama dia melamun, bingung, dan ketakutan. Memang semenjak istrinya pendarahan dan mengalami keguguran, dia nampak sangat terpukul, maklum karena dari sekian tahun berumah tangga, itulah kehamilan pertama istrinya.

Aku merasa iba melihat dia sendirian, aku menghampirinya, siapa tahu kehadiranku bisa menjadi teman ngobrol dan sedikit melupakan kesedihannya. “Pagi mas, pinjam koreknya ada?”, aku duduk disebelahnya, mencoba mengawali obrolan dengan basa – basi. Dia tak menjawab, hanya tangan kanannya yang masuk kantong mengambil korek, matanya masih saja menatap kosong.

“Hidup ternyata indah, aku hanya sebagai seorang aktor yang harus selalu patuh pada sutradara, aku tak tahu, hidup ini indah atau tidak adil”
“Maksud Mas Karyo apa?”
“Tak lelah aku meminta, tak muluk aku berharap. Sepuluh tahun aku berumah tangga, aku berharap mendapatkan keturunan, aku bahagai saat tahu istriku mengandung, sampai aku begitu takut memikirkan nama, do’a, dan masa depan calon anakku itu. Tapi mengapa, mengapa aku yang merasa begitu peduli dengan kelangsungan hidup dunia dan penyelamatan darah dagingku harus menerima kenyataan sepahit ini?, lalu dimana letak kesalahanku?“.

Aku terdiam, sejenak membetulkan posisi dudukku, aku pandangi raut wajahnya yang tak lepas dari murung, matanya masih memerah, berkaca – kaca. Dari penuturan, raut wajah dan penuturannya, aku dapat merasakan betapa dia terpukul dan terguncang jiwanya. Betapa tidak, seperti kemarau yang merindukan hujan, ketika mendung pekat bergulung, harapan akan turunnya hujan pasti begitu besar, tapi mungkin beginilah hidup, saat dia merasa bahagia dengan kehamilan istrinya, ternyata takdir berkata lain, dia kehilangan calon penerus sejarahnya, darah dagingnya.

Melihat dia yang seolah tidak mau diganggu dan kurang respon dengan kehadiranku, akupun berpamitan, aku takut mengganggu kesendiriannya. "Tak tinggal dulu ya mas, ada sedikit perlu“, pamitku. Dia hanya mengangguk pelan, aku bergegas meninggalkan dia sendiri, dalam batinku menyimpan iba, tapi aku juga tak bisa berbuat apa – apa. Dalam hati kecilku aku menggumam, mungkin dia patut bersyukur dengan takdir ini. Dia tidak perlu takut bagaimana cara mendidik anaknya, dia tidak susah – susah mencari sebuah nama, dia tak khawatir dengan masa depan anaknya. Mungkin yang perlu dia lakukan saat ini adalah bagaimana cara memusnahkan ketakutannya, bersyukur, berfikir positif, dan kemudian minta lagi sama Tuhan. Toh, Tuhan tidak pernah tidur.

Slawi, 2008

~cerita ini hanya fiktif , nama dan peristiwa hanya karangan belaka, bila ada kesamaan nama dan peristiwa hanya sebuah kebetulan. semoga ada hikmah yang bisa diambil. terimakasih~

Bagikan artikel ini

22 comments

  1. baca lagi ah..

    aku follow ya

    menarik sih..

    rajin2 up date ya

    (^__^)

    ReplyDelete
  2. @Seiri Hanako: terimakasih mbak, nanti saya follow balik. semoga saya bisa rajin update... :)

    ReplyDelete
  3. saya jadi inget ada pasangan bule prancis yang hidup bareng tanpa nikah dan tanpa pernah mau punya anak sebab mereka takut tak bisa memberi dunia yang nyaman buat buah hatinya...
    hmmmm, gimana jadinya kalo smua orang berfikir begitu ya???

    ReplyDelete
  4. @Rosi Atmaja: jawaban saya (kurang lebih), saya tuliskan diparagraf palin akhir... :) terimakasih

    ReplyDelete
  5. ada bakat nih.. jadi sastrawan!!!!!

    ReplyDelete
  6. @FAISAL HILMI: terimakasih mas, terlalu berlebihan jika saya ingin menjadi sastrawan. saya baru belajar menjadi diri saya sendiri kok... :)

    ReplyDelete
  7. Jalani hidup ini apa adanya, tidak perlu phobia sekalipun kita sedang berhadapan dengan orang yang sok tahu :(

    Kita hanya menjalani, Allah sudah menentukan yang terbaik untuk kita, kenapa harus takut ?

    ReplyDelete
  8. Takut berlebihan dan sikap pesimis tidak akan memperbaiki apa2. Apapun yg dihadapi, kita hanya harus menjalaninya saja dengan sabar dan syukur.

    Tulisannya bagus mas :)

    ReplyDelete
  9. Ruang komentarnya pake apa mas? reply backnya bisa mirip di MP ya :)

    ReplyDelete
  10. Aku hanya tanya apakah ini angan atau true story
    tapi bila ini 'true story' tolong sampaikan ke Mas Karya : bahwa kita hanyalah wayang dan sang dalang adalah Allah, segala ketentuan hidup ada pada NYA.

    Ttg hidup yang indah atau tidak adil, keduanya tidak ada, yang ada adalah : BAHWA HIDUP ADALAH PEMBELAJARAN ALLAH.

    Oh ya bila sempet, mampirlah ke blog ku, mungkin kita bisa share apa saja disana nanti, makasih ya

    http://satriojatim.blogspot.com/
    http://obrolanblogger.blogspot.com/
    http://indonesiatraveling1.blogspot.com/

    salam - satrio

    ReplyDelete
  11. @aldy: betul mas Aldy, lha wong Gusti Allah mboten sare kok.. :)
    terimakasih

    ReplyDelete
  12. @Vulkanis: cerita imajinasi mas, karena hidup perlu pemikiran.. :)
    terimakasih

    ReplyDelete
  13. @Winny Widyawati: yang dimaksud komentar yg mana ya mbak? :)
    kita harus bersyukur dengan apa yg telah diberikan-Nya... terimakasih mbak... :)

    ReplyDelete
  14. @Obrolan Blogger.com: ini hanya sekedar cerita pak, karyo dkk hanya sebuah karangan. semoga ada hikmah yang bisa di ambil. terimakasih, nanti saya berkunjung balik.

    ReplyDelete
  15. ah... kenapa Mas Karyo harus takut pada hal-hal yang belum terjadi? Mengapa ia justru membesar-besarkan ketakutan itu dan bukannya bersyukur atas karunia yang sudah dilimpahkan Tuhan?... dan Tuhan memang selalu punya rencana yang terindah... apa yang menimpa keluarga Mas Karyo adalah yang terbaik... thanks untuk ceritanya mas...

    ReplyDelete
  16. @albertus goentoer tjahjadi: sebuah kewajaran, dalam sebuah negeri yang membekaskan trauma.... terimakasih

    ReplyDelete
  17. @Epenkah: Dia Maha Tahu, jadi tidak ada yang salah dengan hidup ini, bersyukur mungkin lebih baik... terimakasih :)

    ReplyDelete
  18. lho kok , ternyata Mas Karyo ini, berangan2 terlalu jauh sekali,
    sehingga lupa bahwa apapun yang diberikanNYA pada kita, pastilah yang terbaik, karena hanya DIA yg tau yg terbaik utk kita.
    Selalu bersyukur dan memohon padaNYA semata, insyaallah hidup ini akan indah dan hati selalu damai.
    salam

    ReplyDelete
  19. @bundadontworry: bersyukur dan selalu berserah diri mungkin itu yang terbaik. percayakan saja semua pada-NYA. benarkan Bunda :)

    ReplyDelete
  20. hidup memang harus banyak bersyukur, semua pasti ada hikmahnya....

    ReplyDelete