Bantuan, kata yang menyenangkan sepertinya, semenjak dahulu mendengar kata bantuan selalu identik dengan barang atau sesuatu yang cuma-cuma. Makanya, tak heran jika mulai timbul asumsi dari sebagian orang jika mendapatkan bantuan maka akan mendapatkan sesuatu yang gratis, tak peduli soal status sosial.
Contoh Kasus
Bantuan langsung masyarakat, atau dana BLT mungkin sudah tidak asing lagi. Dana yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga miskin ini bisa menjadi sesuatu yang merepotkan. Pada awal penyalurannya dulu, banyak ditemui banyak permasalahan. Banyak RT, RW, dan perangkat kelurahan/desa yang terkena imbasnya. Belum lagi berita yang beredar megenai pemotongan dana ini, dan kecemburuan warga non miskin kepada penerima dana BLT. Makanya, banyak solusi yang ditempuh guna meredam permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
Lain BLT, lain lagi dengan bantuan beras bagi warga miskin (raskin). Saking cemburunya, banyak masyarakat yang non miskin ikut meminta jatah, padahal mereka tidak termasuk dalam daftar warga miskin yang berhak menerima. Akhirnya, untuk meminimalisir timbulnya permaslahan, beras jatah itu pun berubah istilah menjadi rasta, alias beras yang dibagi rata.
Dua contoh diatas mungkin bisa mewakili sekian cerita yang berkaitan dengan bantuan, terutama bantuan yang bersumber dari pemerintah. Karena niat baik pemerintah belum bisa di imbangi dengan sikap sebagian masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil.
Tidak Semua Bantuan Itu Menyenangkan
![]() |
tampilan angkringan pada umumnya |
Ceritanya, beberapa waktu yang lalu para pedagang yang berada satu lokasi dengan warung angkring ini mendapatkan bantuan gerobag dari dinas terkait. Mereka terhimpun dalam sebuah paguyuban pedagang hasil binaan dinas tersebut. Nah, karena bentuk warung angkringan dengan pedagang yang lain memang berbeda, shingga mau tak mau si penjual angkringan memodifikasi gerobag tersebut agar pas dengan sewajarnya gerobag angkringan.
Memang, kalau di pikir-pikir menyenangkan bisa mendapatkan bantuan gerobag, tapi bagi si penjual angkringan ini sepertinya malah membuat kurang nyaman. Sepertinya banyak aturan yang harus ditaati setelahnya. Kalau aturan secara administratif mungkin tidak ada masalah, tapi aturan yang membuatnya keberatan adalah mengenai tampilan gerobag angkringannya.
Umumnya, gerobag angkringan itu tampilannya terkesan sederhana, dengan lampu minyak tanah atau lampu listrik yang terlihat remang-remang. Di depan biasanya di pasangi banner, kain, atau terpal sebagai penutup, dan sebelumnya tampilan warung angkringan ini juga seperti itu. Setelah mendapatkan bantuan, semua harus di rubah, tak boleh remang, tak boleh ada penutup di depan, dan harapannya tampilan gerobag seperti yang lainnya. Padahal, jenis dagangannya juga berbeda, tentunya tampilan penyajian warung juga berlainan.
Saya pun juga tidak habis fikir, kalau misalnya semua syarat di turuti, mungkin "roh" dari angkringan bakal hilang, dan kesannya seperti warung pada umumnya. Sekarang penutup depan sudah tidak ada, lampu sudah diganti dengan yang lebih terang, dan yang membuat angkringan ini masih beruntung adalah: gerobag gratis dan pelanggan yang tidak terlalu mempermasalahkan tampilan warung/gerobag-nya. Sudahlah, kalau masih ingin menempati lokasi itu, mau tidak mau semua memang harus dituruti, meski tidak suka sekalipun. Dan saya pun sempat berseloroh: 'ganti saja dengan warung padang, bukan angkringan'. :D
Umumnya, gerobag angkringan itu tampilannya terkesan sederhana, dengan lampu minyak tanah atau lampu listrik yang terlihat remang-remang. Di depan biasanya di pasangi banner, kain, atau terpal sebagai penutup, dan sebelumnya tampilan warung angkringan ini juga seperti itu. Setelah mendapatkan bantuan, semua harus di rubah, tak boleh remang, tak boleh ada penutup di depan, dan harapannya tampilan gerobag seperti yang lainnya. Padahal, jenis dagangannya juga berbeda, tentunya tampilan penyajian warung juga berlainan.
Saya pun juga tidak habis fikir, kalau misalnya semua syarat di turuti, mungkin "roh" dari angkringan bakal hilang, dan kesannya seperti warung pada umumnya. Sekarang penutup depan sudah tidak ada, lampu sudah diganti dengan yang lebih terang, dan yang membuat angkringan ini masih beruntung adalah: gerobag gratis dan pelanggan yang tidak terlalu mempermasalahkan tampilan warung/gerobag-nya. Sudahlah, kalau masih ingin menempati lokasi itu, mau tidak mau semua memang harus dituruti, meski tidak suka sekalipun. Dan saya pun sempat berseloroh: 'ganti saja dengan warung padang, bukan angkringan'. :D
Memberinya karena ada syarat dibelakangnya ya mas,... Mungkin klo yg memberi dari partai akan lebih seronok lagi hahaha....
ReplyDeleteDidaerah mana tu mas...
haduhhh .. makin bingung ya, di terima salah ditolak makin salah, hmmm ..wew ^^
ReplyDeleteUang BLT lebih di peruntukan sbg pencitraan atau kalo boleh saya sebut sbg kampanye terselubung :)
ReplyDeleteUntuk yang kumuh2 memang saya setuju kalau dirapikan, tanpa menghilangkan ciri atau ruhnya...
ReplyDeleteDitempat saya ada angkringan yg jorok, bekas bungkus nasinya bertebaran kemana2 padahal dia menempati area umum berupa trotoar.
harusnya memberi itu tanpa harus menerima., (ikhlas) :)
ReplyDelete@eko susilo: Sebenarnya maksudnya baik, hanya saja, (menurut saya) mungkin perlu pertimbangan karena memang yang dijual lain dan cara penyajian juga berbeda hehe..
ReplyDelete@Stupid monkey: ikut saja :)
@Yayack Faqih: Banyak yang bilang demikian, Mas :)
@marsudiyanto: saya pun demikian, Pak.. tapi bagi pedagang terkadang harus berfikir ulang jika "ruh" dari dagangannya harus "hilang" karena aturan, karena sumber penghidupan mereka dari sana.
ReplyDelete@djawa: idelanya demikian :)
Hihi. Kalo pake gerobak yang lama emang gak boleh ya? Jad kasian gitu
ReplyDeleteMemberikan bantuan saja mengeluarkan banyak aturan. Itu ikhlas apa tidak ngasih bantuannya. Angkringan dimana2 kan ada banner di depannya. Kalau nggak ada kesannya seperti apa gitu.
ReplyDelete@Bunga Mesa Ananda: Karena sudah dapat gerobag baru, gerobag lama tidak dipakai lagi
ReplyDelete@HP Yitno: Kalau perorangan mungkin ke ikhlasan bisa di tolak ukur, tapi kalau atas nama instansi atau lembaga tertentu, biasanya ada aturan yang mengikat.
yang kumuh harus dibersihkan, ditata, tapi juga harus nyeni dong, terang uga harus tapi klo misal semua harus dengan lampu neon misal, wah datar banget lah lapaknya... :D
ReplyDeleteditempat saya pun (Solo) angkringan (HIK) juga sudah banyak mengalami modifikasi, ada HIK Meja panjang, ada hik padang (padang=terang) karena lampunya terang benderang :)
ReplyDeleteMungkin memang gak ada yang namanya "free lunch" di dunia ini Mas, semuanya dilakukan pasti ada sebabnya :)
ReplyDelete@Sriyono Semarang: kalau bisa sewajarnya, tidak perlu dipaksakan :D
ReplyDelete@yos: saya pikir itu karena yang punya warung nyaman, tapi kalau kasus diatas, yang punya angkringan merasa kurang nyaman :)
@Unggul Depriyanto: hukum sebab akibat, kah?
Saya membayangkan angkringan itu Indonesiaku, dan pemberi bantuan itu IMF. Jadinya harga mendoan dan wedang jahenya akan dinaikan :sad:
ReplyDeleteSemoga angkringan itu tetap bertahan dan mampu membiayai diri sendiri. Enyahlah bantuan !!!
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
setiap korupsi pasti ada cerita
ReplyDeleteBLT? akal-akalan parpol tuh....
ReplyDeletejelas-jelas ga ngefek
jelas-jelas ga juntrungan aturan mainnya
cuma buat dongkrak parpol menjelang pemilu
Wehhh.... yang jualan siapa lha kok yang ngatur malah siapa tah? gak kebayang klo angkringan berubah terang dan si penjual mesti masang neon 100 watt, yang ada bukannya untung malah rugi di listrik.... ada2 aja tuh pemkotnya.... wes mending suruh pake gerobak lama aja :)
ReplyDeletebuset dah dia jual suka-suka dia harusnya, masa semua harus sama semua gaya jualannya, jaid bosenin :hammer:
ReplyDeleteada udang di balik batu.. :)
ReplyDelete